Senin, 18 April 2016

Kejatuhan Manusia



Mereka menari diatas kepala
meludah sebatas kata-kata
mengadu cara dan mencela
menampar-nampar wajah duka

Mereka berdansa di atas derita
atas hilangnya sebuah harga
diri, bangsa, prinsip
tertimpa reruntuh nasib

Mereka bernyanyi di antara duka
menertawakan segala
mati merana
berjaya dalam nestapa

Mereka kini masih berada

Jadi hantu sepanjang mangsa

Kamis, 14 April 2016

kini biarlah aku menulis dengan apa adanya, mewajahkan muram kepada layar tempat huruf berebut tempat untuk bisa mencium titik. aku kini membuka diriku, padamu, yang bersedia membaca sekadar peringatan dari dalam jiwa.

sungguh aku sudah lelah

segala saling mengejar, segala saling menyelisih, memaki lalu memaksa untuk meruak ke dalam-dalam jiwa. aku kira yang kubutuhkan hanyalah suatu keheningan dimana aku dapat menulis dengan sesuka hati, mendengarkan suara-suara yang selama ini terabaikan oleh rutinitas sehari-hari. namun aku terbentur, lagi-lagi, oleh rintang yang sama. seolah membayang jadi beribu di mata.

apakah ini hidup ?

kalau memang harus membagi kepastian dengan bayang, wajah dengan kemunafikan yang tak pernah diharapkan oleh manusia-manusia sekalian. karena airmata adalah pelarian bagi jiwa yang sudah lelah, sudah pasrah dengan keadaan. sudah menyerah pada harapan. sudah membuang jauh sauh kepada dermaga yang tak pernah diingini sekalipun

harapan yang makin kabur

seiring dengan hilangnya pandang, menuanya pikiran di dalam benak tempat nurani bersemayam, tempat jiwa memoroskan dirinya. aku mematut diriku pada kalimat-kalimat yang sudah lama aku tulis, benarkah keadaan jiwaku dulu sebagaimna itu? sulit untuk memercayainya walau memang benar tulisan adalah jendela hati

pendarnya semakin pudar

walau hanya tersisa kekosongan yang besar, lubang hitam yang tak berujung. memutus segala urat kenangan dan hal-hal yang berharga demi ukiran angka semata. gelap, jauh, seolah tak ada lagi tujuan yang dapat dipegang dan dijadikan batu pijakan, untuk digenggam erat selama perjalanan.


mungkin sampai aku menemukanmu. kembali.

Selasa, 01 September 2015

Surat - Surat yang (mungkin) Tak akan Sampai

Surat - Surat yang (mungkin) Tak Akan Sampai


Kamis, 8 agustus 2014, 01:45

Sebuah kata menunggu dalam relung rindu. Tak tahukah kau? Kemana akan kembali berpulang rasa tersebut? Hanya ada kata yang tersimpan dalam dasarnya perasaan yang tak tersampaikan, sebagai sebuah potongan hidup yang terpilih dari berseraknya mozaik-mozaik yang  telah dilangkahi. 

Akankah kita kembali? Kepada kenangan yang berpendar dalam remangnya bulan, menunggu pelukan yang sama atas jawaban yang sama, atau sebuah kerling yang menjawab segalanya. Pepatah tak akan pernah salah bagi kita yang memepercayai benang takdir, selalu akan terus terhubung dalam kepastian karena kepercayaan adalah pengikat sejati baginya.

Sedang apa kau dalam mimpimu? Tanya sepi yang mengarungi dinginnya malam. Kerana aku tak tahu selain desing kipas usang yang membasahi ruang juga hati yang berdebar dalam masa yang ditunggu. setahun sudah, kini ganjil telah tergenapkan, namun rasa tetap tak terucapkan. Apakah kau akan menerima jika ketidakpastian dijadikan kambing hitam? Semoga…..

Malam makin panjang, jadi gila kerana kubicara pada papan ketik yang berirama sepotong-sepotong seumpama lagu ini, the ballade pour adelaine kan kah kau suka? Hahaha. Seumpama kau yang terus menangis dalam relung rembulan, tak pernah dapat kusentuh, selain hampa yang kudapat. Aku memang tak berani, bagimu terutama bagiku yang memang tak akan berani bikin janji. Ketidak pastian itu temanku bukan?

Sepanjang masa yang telah terlewat, semoga lekas, kita akan kembali berbicara kepada mentari sebagaimana yang kerap terbayangkan. Sudikah kau? Pertanyaaan yang tek pernah dapat terjawab lagi sekarang. Semoga,dan semoga lah yang selalu akan kuucapkan padamu untuk hari depan, ketika kita tak tahu siapakah dan untuk apakah saling memiliki itu.

Monolog kecil inilah tempat kata bisa mengalir begitu saja, putri embunku. Tak ada yang meminta, kecuali hasrat untuk berbicara. Tak ada yang mendengar, kecuali sunyinya malam berbintang. Tak ada yang melihat, kecuali mata sayu akan harapan dan Yang Melidunginya. Semoga. Selamat berbaring kembali dalam tidurmu, semoga malam tak akan memudar cerahnya kala melihatmu menutup mata, memilingkan indahnya gemintang saat ini kepada mimpimu, membiarkan bulan yang menyauhkan mimpiku kepada bunga-bunga dalam tidurmu. Selamat malam.

16 desember 2014 –CSA

Kisah ini akan dimulai dengan sebuah cerita. Dahulu kala ada seorang anak desa dari Kroasika yang datang ke akademi militer Prancis demi menghidupi keluarganya yang tidak mampu. Ia seorang anak desa yang tersisihkan karena berdarah Austria yang pada saat itu tengah mengadakan perang dengan Prancis. Namun kegigihannya patut diacungi jempol, hingga ia menjadi lulusan terbaik. Dan takdir pun menyampaikan maksudnya, dengan menjadikan ia sebagai seorang Kaisar Prancis, dan mengarang buku undang-undang pertama, Code of Napoleon. Dari sisi sejarah ia begitu mengagumkan, namun apakah kiranya yang membawanya kepada kemasyhuran tersebut, tingginya pangkat bahkan terkenangnya ia sebagai salah satu perintis Revolusi Prancis? Sedang ia berasal dari kalangan bangsawan rendah yang bahkan makanan keseharianya pun sekerat roti keras dengan air putih?

Beberapa waktu ini saya mengatakan pada diri sendiri, lebih tepatnya bertanya, apakah yang saya cari dalam hidup? Sebuah kebebasan, pemberontakan? Jalan menuju keabadian dengan menjadi sejarah gemilang di buku-buku bangku sekolah? Para pahlawan kemerdekaan memberi contoh mengenai sebuah perjuangan bahwa semua itu dimulai dengan memahat diri menjadi lebih baik. Soekarno berguru pada Cokroaminoto, Hitler berguru pada pepohon di hutan-hutan, Napoleon berguru pada badai dan kesengsaraan bertubi-tubi di bangku Akademi Militer. Semua yang mereka lakukan, latihan yang mereka jalani tentu memiliki satu alasan sehingga mereka mampu bertahan. Apakah ambisi terhadap kekuasaan, rasa cinta terhadap sesuatu, atau kehidupan yang lebih layak?
Pertanyaan-pertanyaan ini memutari dari pagi hingga kembali menjelang lagi, sedang keseharian saya sendiri makin lama makin tidak teruurs. Beruntung, sokongan dana dari orang tua membuat saya merasa keadaan saya disini tidak terlalu buruk. Saya kerap percaya, ketika saya dapat menjalani prinsip hidup yang diajarkan Ayah, lalu memegang teguhnya, sudah barang tentu saya dapat meraih kebahagiaan yang saya inginkan. Namun kali ini, pada masa saya menulis ini, saya merasakan sesuatu yang semu. Semua disiplin yang sudah saya tanamkan, prinsip yang sudah saya selami seolah menertawakan saya ketika saya mengajukan pertanyaan pada diri sendiri : buat apa saya melakukan ini? Karena nyatanya lingkungan, rapor, kawan, orang tua bahkan tuhan sendiri (maafkan saya Ya Allah) seolah berpaling kala mereka saya jadikan sebagai tujuan.

Pemaknaan kembali yang ingin saya lakukan, namun kerap berbentur dengan kenyataan. Waktu yang teman saya katakan patutnya saya investasikan saya bubuhi dengan kata kemubaziran. Begitu pula pengharapan saya kepadanya, taklah pantas ia mencintai seseorang yang kini tak punya tujuan hidup. 

Dahulu sempat saya berkata pada seorang kawan, mengutip perkataan Andrea Hirata : Orang-orang seperti kita hanya akan mati jika tidak punya mimpi. Dan kini saya merasakannya. Sungguh, saya merasakannya. Semua mati rasa, hidup yang saya wajahkan hanya berupa senyum kosong belaka. Apakah tujuan saya? Akankah pertanyaan ini terjawab? Umar,Mushasi,Napoleon,Gie,Hitler…. Apakah kalian punya jawaban untuk anak borjuis yang kerap mengecewakan diri sendiri?


18 desember 2014

Amsterdam.. Amsterdam keliling dunia dari pojok kasur di lantai 2 asrama. Hari ini terasa begitu gila dengan simfoni kecil diujung jilbab yang tak kulihat walau sekilas pun. Tak kutemukan sosokmu selain di dunia kesempatan : mimpi dan mimpi. Menyisakan sebuah perasaan : kesendiriran.

Menulis kini menjadi sebuah arti tersendiri, persetan sekali dengan komentar-komentar miring. Kerna disinilah saya bisa menuangkan berbagai macam hal yang terpikirkan, imajinasi, kenangan, atau cerita tentangmu. Memang, taklah begitu pandai saya merangkai kata, selain mungkin unutuk disimpan dalam catatan-catatan belaka. Bagaimanakah mungkin saya berani menulis untukmu, menatap saja taklah kuat hati.

Ingatan pertama datang ketika pertama kali saya meminta kawan untuk mengajakmu masuk ke dalam organisasi yang baru terbentuk. Sebagaimana kau tahu, saya adalah orang yang sangat pemalu untuk seukuran anak Sekolah Menengah, dengan lawan jenis. Dan saya pun baru mengenalmu pada saat di kelas 2, secara tak sengaja. 

Dan saya menyadari satu hal, bahwa adalah pengharapan kosong jika saya berani - berani mengenalmu secara pribadi lebih jauh. Namun seiring waktu, sikapmu mulai terbuka. Pada pertemuan kedua, bahkan kau dapat tertawa. Kau tahu, saya sempat merasa salah tingkah karena hal itu. Dan sikapmu makin lama makin terbuka, tawamu berulangkali terdengar. Sampai saya bertanya, apakah ada suatu yang salah? Waktu memang berjalan, kadang terasa begitu lambat kadang pula terlalu cepat. Seiring waktu watak dapat berubah, hingga sikapmu kembali seperti sedia kala.
Saya memang laki-laki biasa, sudah banyak pengharapan yang tidak kesampaian. Mungkin karena ini pula, waktu akan membiarkan semua menjadi seperti semula, tanpa ambisi mengalir, hingga menuju muara yang tak tahu dimana. Maaf jika kali ini tulisan terasa abstrak.


  
20 desember 2014

Kini di luar sedang hujan, langit tak memberikan apapun selain bulir-bulir airnya di jendela. Udara dingin terasa sampai ke jemari dari AC mobil yang memang dibiarkan menyala. Mobil masih derung berdesing melintas hujan dan jalanan yang basah dan licin. Tak sedikit guncangan yang disebabkan mobil, tentunya sedikit kendala seperti ni tak menghalangi kisah saya kepadamu. Mumpung lagi punya waktu bayak nih, bagaimana jika saya mulai dengan ungkapan ‘Bagaimana kabarmu?” sebagai prakata tulisan ini. Walaupun tidak pernah saya ucap, mungkin lewat tulsian ini rasa saya tersampaikan.

Saya akan melanjutkan cerita kemarin, yaitu tentang kamu juga. Kurang lebih 5 buah pertemuan mungkin, dimana saya melihat senyum dan tawamu. Iringan itu mengkin tak begitu berarti bagi yang lain, bak siulan tipis ditengah megah orkestra di jalanan luar negeri sana. Namun bagi saya itu adalah sebuah orkestra keseluruhan : bukan sebuah pengiring, melainkan inti dari kisah yang sedang diceritakan oleh pena Takdir. Pertemuan-pertemuan kecil itu makin lama makin saya nanti, hingga sulit rasanya menghilangkan kekecewaan jika kamu tidak hadir. Hingga pada suatu titik dimana saya merasa berlebihan, dan kamu mulai berubah.


Tadi ada sedikit guncangan, aku berharap masih punya banyak waktu untuk bercerita.
Aku mencoba untuk memperbaiki hal tersebut, dengan memberikanmu tempat kembali. Namun kamu masih saja berwarna sama, tak terlihat cerah mata itu lagi. Kau tahu, karena hal ini aku sempat frustasi bahkan berpikir untuk menarik diri. Akhirnya tugas-tugas kecil saya abaikan hingga menumpuk lalu menjadi masalah yang lain. Cerah matamu masih pula tidak terlihat, makin lama makin mengiris hati. Sikapmu jadi dingin seolah tak peduli. 

Langit pada saat sore ini juga kelabu, bahkan sangat mendung. Tapi tak terasa muramnya sedikitpun.
Jawaban atas sikapmu saya sadari pada saat kamu melewat di depan saya, pada saat sore yang sama. Dengan atau tanpa senyum yang tidak kulihat, namun saya mendapat jawabannya. Kamu tidaklah seburuk yang saya duga, bahkan kamu masih mengingat permintaan kecil saya yang mungkin orang lain akan lupa atau tidak ambil peduli. Namun kamu tidak, kamu membawa jawaban atas permintaan kecilku, juga atas pertanyaan besarku: sikapmu akhir-akhir ini. 

Dan pada saya menyadari bahwa mungkin kamu sendiri merasa memerlukan jarak dengan saya, supaya semua kembali normal. Mungkin pada mulanya kamu menganggap saya tidak mungkin merasakan jatuh cinta, karena sikap saya yang tidak terlalu dekat dengan perempuan. Mungkin pada saat itu kamu merasa saya dapat menjadi seorang teman tanpa menyertakan emosi yang berkelindan, yang tak terdefinisikan. Saya akui kedewasaanmu, dan kekanakan yang saya pertunjukkan bahkan di depan khayalak umum. Saya mencoba memahami dan menyetujui bahwa sikapmu yang seperti itu adalah yang terbaik supaya tidak ada kesalahan persepsi bagi saya dan yang lain pula. Patutnya kamu memang berhati-hati terhadap laki-laki, karena mereka punya maksud dan tujuan sendiri. Yang mungkin tidak kau tahu, kalian tahu, dan aku pun tidak tahu.


Boleh cerita saya lanjutkan? Tadi saya keluar dahulu untuk membeli beberapa penganan. Si adik kecil di bangku depan sepertinya senang saya berikan sepotong coklat. Haha, saya sendiri merasa berlebihan bersikap ‘terlalu ramahkah?’ pertanyaan yang dapat menunggu untuk dijawab.
Karena pada saat ini saya sedang ingin bercerita kepadamu, karena itu saya buka laptop dan mengetik.

Saya harap kamu tidak bosan? Mungkin kamu butuh sedikit musik favorit pengantar atau minuman hangat , seperti yang tadi saya lihat di toko dan terlihat enak, lalu melanjutkan membaca cerita saya. Tahu tak perlu, kamu cukup berkelindan bersama sebuah kasur beserta selimutnya lalu membaca. Tahu bahkan kau tak peduli, memilih untuk membaca kisah lain atau bahkan menulis kisahmu sendiri. Kau tahu saya ingin berkata jika saya tak peduli kala kau tak peduli, tapi saya tak begitu gentle untuk mengatakannya. Saya berharap, tentu, kamu membaca cerita ini dan merasakannya bersama saya.

AC mobil travel ini lebih dingin, bahkan hujan di luar terlihat lebih hangat. Lalu, jika kamu seorang yang kritis, kamu akan bertanya bagaimana melihat sebuah kondisi yang seharusnya dirasakan oleh indra praba, yaitu hati? Jujur saya tidak punya jawaban pasti, selain rindu yang kini terasa di hati. Oh, bahkan baru 24 jam saya tak melihatmu, rasa ini sudah menerjang tiba-tiba.Dan kini saya mulai pusing-pusing. Mungkin ini pertanda bahwa waktnya berhenti bercerita. Meminjam perkataan Pidi Baiq, semoga tulisan ini menganggu, karena jika mengganggu maka saya senang J terakhir, senang bisa berjumpa dengan perempuan sepertimu, semoga kamu kelak akan jadi bidadari diantara para bidadari surga. Surat ini saya cukupkan, Sekian.

27 Desember 2014

Pada saat ini saya mempertanyakan keyakinan diri saya sendiri atas prinsip yang rasanya kerap saya agung-agungkan. Kejujuran, integritas, keberanian, tanggung jawab, semangat…. rasa-rasanya saya sudah berjalan begitu jauh hingga tak mengenal lagi taha-tahap batas yang seharusnya saya pegang teguh betul. Dulu, masih segar ingatan saya ketika saya di bangku Sekolah Dasar menuliskan bahwa jalan yang akan saya tempuh adalah jalan naga, di saya sendiri menyandang gelar hamukti moksa. Menjadikan diri sebagai objek pelatihan, alat menuju tujuan sebagai manusia purna (?). makin kesini makin terasa berat sungguh memegang janji kehidupan tersebut. Pada kenyataannya sayalah yang  paling membikin kecewa diri sendiri, nurani sendiri. Lantas masih dapat tegapkah saya wajahkan jiwa dan raga ke hadapan semesta?

Mungkin benar Allah menjadikan diri saya sendiri sebagai pusat ujian, the real problem to be solved. Pada dasarnya saya kerap mempertanyakan sesuatu kepada diri sendiri, memerlukan jawabannya. Pada dasarnya lingkungan saya tiadalah memberi saya rintangan berarti, namun diri yang membuat-buatnya. Tak heran jika pepatah musuh terbesar adalah dirimu sendiri amatlah benar untuk saya yakini keberadaannya, saya pahami maknanya, saya lisankan hakikatnya, saya jadikan pengiring dalam perbatan keseharian.


Radio diluar berbicara. Suara Aa Gym yang terdengar, bercerita tentang istiqomah, lebih baik dari hari kemarin. Muhasabah. Ingat akan kematian. Keinginan untuk khusnul khotimah. Do’a. Akhirnya sebuah tanya telah terjawab…

1 September 2015

Kini sudah hampir setahun lewat kebersamaan, dan saya masih menulis tentang kamu. Sudah banyak yang berubah dalam diri saya, Alhamdulillah. Kini saya pun mendapati tujuan yang lebih terang dari sebelumnya. Saya yakin, bahwa apa-apa yang terjadi memang sudah KehendakNya. Saya menyadari bahwa Pemilik Takdir pasti mempunyai suatu kehendak atas sebab musabab yang menjadi rantai dalam kurun waktu kehidupan kita. Dan di setiap kesempatan kini saya sudah memiliki kesadaran untuk memilih. Karena itu, cukuplah kamu dengan bahagiamu, mimpi-mimpimu. 

Saya percaya bahwa kata cinta sejati tidaklah dimiliki oleh makhluk fana, tapi Sang Khalik dengan kemutlakan keberadaanNya. Karena itu saya ingin cinta yang saya miliki pun berdasar pada hal tersebut. Dalam mencintai keluarga, teman, bangsa, sesama manusia, saudara-saudara seiman, dan sebagainya. Sedang soal jodoh, tentulah Ia sudah menentukan yang terbaik. Saya pun berharap orang-orang yang membaca surat-surat ini, terutama yang 'bernasib' sama dengan saya, tersadar dari angan-angan dan lamunan-lamunan kosong tersebut.

Dan kalau benar kamu membaca surat-surat ini, yang hanya saya tulis sebagian saja, semoga kamu mendapat rahmat dariNya, teriring doaku untukmu, mutiara surgaku.

Juga mohon doakan saya yang kini terus berusaha berjuang untuk memperbaiki diri.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Minggu, 21 Juni 2015

di balik jendela

ini malam begitu sunyi, bahkan walau untuk sekadar dibagi
jauh di dalam lingkaran pemikiran yang mecoba berarti
karena jiwa tak ingin kecuali berontak memecah tekak
pada dinginnya malam dan sepinya ruang
kembali menuai apa yang dilontarkan kepada dinding
walau tak terdengar, sungguh oleh kedua cuping telinga
beserta lubang, gendang, dan kesadarannya
namun suatu hal yang patut dipercaya
digenggam erat ketat diikat segala otot punya urat
atau suatu hal yang mungkin cukup kecil untuk diandaikan
namun berat untuk disampaikan


Sabtu, 20 Juni 2015

perempuan penutup jendela

dus ini tatap terpana
dari balik ruang dan grendel jendela
yang menutup perlahan
satu
persatu


sabtu, 20 juni